“Tapi beh. Neng gak suka kalau babeh maunya begitu!”
“Apa kata tetangga kalo kita gak ngadain! Kamu mau buat babeh malu!”
“Sekali gak mau. Neng tetap gak mau!” Kataku sambil lari meninggalkan Babeh dan Emak di ruang tamu. Yang kulihat Emak hanya terdiam menunduk tidak tahu harus bagaimana. Aku langsung menuju kamar dan terjun di kasur dengan bantal di atas kepalaku. Aku menangis menahan sakit dalam hati. Kenapa Babeh harus bersikeras seperti ini. Padahal aku tidak mau.
***
Satu Minggu Sebelumnya
Namaku Neti. Aku sebentar lagi menikah dengan seseorang. Namanya Arif. Kami sudah menjalani hubungan yang tidak sebentar, sekitar 3 tahun. Kami sudah kenal sejak sama-sama kuliah di satu kampus.
Ketika Arif sudah lulus dan mendapatkan pekerjaan sebagai Programmer di salah satu Bank. Arif berniat melamar aku. Tepatnya dua bulan yang lalu. Arif dan keluarga datang ke rumahku. Proses lamaranku berjalan dengan lancar yang dibuka dengan pembacaan ayat suci al-Qur’an oleh calon mempelai perempuan, yaitu aku. Kemudian kami menentukan tanggal pernikahan kami. Yaitu pada tanggal 1 Januari 2012. Berapa undangan yang akan disebar. Desain undangan yang diinginkan. Tempat pernikahan yang akan digelar. Semua itu sudah disetujui dari kedua keluarga.
Sampai ketika konsep acara pernikahan dibicarakan.
Keluarga dari Arif, menginginkan adanya pentas marawis dan gambus sebagai pelengkap acara. Tetapi Babeh berkata lain. Babeh ingin acara dangdut yang biasa dilakukan oleh tetangga-tetangga kami sebelumnya. Acara dangdut yang mengundang penyanyi dengan pakaian yang seronok. Keluarga kita berdua memang dari suku yang sama, Betawi. Tetapi sepertinya ada perbedaan dari segi yang satu ini.
“Maaf sebelumnya. Tetapi saya mewakili keluarga berniat untuk mengadakan pentas dangdut untuk pelengkap acara. Bukan acara marawis dan gambus seperti yang Bapak inginkan.” Babeh berusaha menolaknya.
“Tapi, pak. Untuk pentas dangdut saya rasa tidak pantas. Karena biaya yang dikeluarkan tidak sedikit. Lagipula sebagian besar penyanyi yang diundang selalu membuka aurat” Ibu Arif berusaha menjelaskan.
“Untuk urusan biaya tidak usah khawatir. Kami sekeluarga bisa menyanggupinya. Lagipula bisa malu keluarga kami kalau tidak ada pentas dangdut. Sedangkan dua minggu yang lalu, tetangga saya bikin pentas dangdut pas anaknya nikahan.” Balas Babeh.
Ada nada tidak senang yang aku tangkap dari suaranya. Aku hanya bisa tertunduk malu. Malu dengan keluarga Arif.
“Tapi, pak. Benar kata Ibu Dinda. Lebih baik tidak usah diadakan pentas dangdut. Lebih baik kita adain pentas marawis dan gambus. Itu lebih Islami.” Emak berusaha menenangkan suasana yang menurutnya sudah tidak mengenakkan.
“Jadi, Emak lebih penting kita pentas marawis dan gambus daripada pentas dangdut? Mau ditaruh di mana muka kita, mak?” Babehku makin keras suaranya.
“Sudah. Jangan karena ini. Silaturahmi kita jadi tidak baik. Untuk urusan mengenai pentas ini, mungkin lebih baik Neti dan Arif yang menentukan mau diadakan pentas yang mana. Insya Allah pilihan mereka berdua bijaksana untuk kita semua. Bagaimana?” Tanya Bapak Arif kepada semua yang hadir.
“Baik. Semoga mereka berdua bisa membuat keputusan yang bijaksana buat kita semua. Tapi, saya tetap dengan mengadakan pentas dangdut. Tidak bisa diubah.” Kata Babeh sambil menatapku dan Arif dengan tajam, sekalipun masih ada raut kebaikan di wajahnya.
Aku hanya tertunduk mengiyakan. Sekaligus berpikir keputusan apa yang aku dan Arif berikan kepada mereka.
“Ayo. Silahkan dicicip makanannya. Sayang kalau gak dimakan.” Kata Emak berusaha mencairkan suasana.
Aku melihat Arif. Arif memberi gerakan kepala ke samping untuk berbicara mengenai hal tadi. Aku dan Arif kemudian pamit, menuju ke teras belakang rumah.
“Aku harus gimana, rif? Babeh tetap kuat dengan pendiriannya. Babeh pengen ada-in pentas dangdut di acara pernikahan kita.” Kataku dengan nada suara bingung.
“Aku juga gak tahu harus bagaimana, neng. Babeh kamu tadi hampir marah.”
“Babeh selalu memikirkan perasaan malu kalau gak ada pentas dangdut. Padahal aku juga gak suka dengan pentas dangdut. Terlalu senonoh. Lebih baik marawis dan gambus seperti kamu sekeluarga anjurkan.”
“Ya sudah. Coba besok atau kapan tepatnya, kamu bicarakan lagi baik-baik dengan Babeh. Siapa tahu Babeh bisa terima usul dari aku sekeluarga.”
Aku hanya diam.
“Sudah. Jangan diam bingung begitu. Senyum dong. Kan kita sebentar lagi mau nikah. Masa calon istri aku gak ada semangat banget.”
Aku tersenyum kecil.
“Kamu paling bisa buat aku ketawa.” Kataku seraya mencubit tangannya.
“Arif. Selalu buat kamu ketawa. He he he.” Katanya dengan bangga.
Aku sedikit melupakan kejadian yang tadi berkat gurauan Arif. Aku menatap langit malam hari. Begitu tenang dengan keindahan bintang-bintang yang menyelimutinya. Dengan doa tertulis di hati. Ya Allah permudah jalan hidup kami. Jangan kau belokkan kami dari Jalan LurusMU. Amin.
***
Aku hanya bisa menangis di kamarku. Rencana yang kami bicarakan seminggu yang lalu tidak membuat Babeh mengerti. Babeh tetap saja dengan pendiriannya. Aku ambil HP dengan mengetik pesan singkat ke Arif. Arif, besok kita ketemu di tempat biasa. Ada yang mau aku omongin. Pesan terkirim. Beberapa menit kemudian, Arif membalas. Iya, neng. Jam 5 sore ya pas aku pulang kerja. Selamat tidur. Dengan pikiran yang tidak tenang, aku berusaha memejamkan mata. Aku butuh istirahat hari ini.
Aku bangun sekitar jam 5 pagi. Aku ambil air wudhu dan bersegera salat Subuh. Pagi ini aku harus berangkat ke kampus. Ada penelitian yang harus aku lakukan. Setelah lulus kuliah, aku melanjutkan penelitian mengenai hasil skripsiku beberapa waktu lalu. Bisa dibilang dilanjutkan untuk menjadi lebih baik. Itu saran dosen pembimbingku. Sudah sekitar dua bulan aku menjalankannya.
“Neng! Ini makanannya udah emak masakin. Makan cepetan. Nanti telat!”
“Iya mak. Neng ke sana bentar lagi. Lagi pake jilbab ni.”
Aku buru-buru pakai jilbab. Memang sudah telat. Sudah jam setengah 7. Aku harus berangkat paling telat jam 7 kurang 15 dari rumah. Setelah melihat sambil merapihkan jilbabku di cermin. Aku langsung mengambil tas dan bergegas makan.
Ternyata di meja makan lauk kesukaanku. Ikan Peda sama Tumis Oncom. Sudah pasti enak. Bikinan Emak memang paling enak. Piring aku isi dengan nasi bersama makanan kesukaan.
“Neng. Pelan-pelan makannya.”
“Tadi disuruh cepetan. Makanya neng cepet-cepet makannya.”
“Ya tapi pelan-pelan. Nanti keselek.”
Uhuk. Uhuk. Aku langsung berpantomim minta minum ke Emak.
“Tuh kan. Baru dibilangin, udah keselek. Pelan-pelan. Nih minum.”
“Alhamdulillah.” Kataku lega. Aku melanjutkan rutinitas makan yang tertunda. Dengan pelan-pelan tentu saja.
Setelah selesai. Aku istirahat sebentar.
“Yaudah, mak. Neng berangkat dulu.”
“Hati-hati ya neng. Jangan buru-buru.”
“Iya, mak. Babeh mana, mak?”
“Tuh di depan. Lagi baca Koran.”
Aku langsung ke teras depan.
“Beh, neng berangkat dulu ya. Doain biar selamet.”
“Iya. Hati-hati.”
“Iya, Beh. Assalamualaikum.”
“Waalaikum salam.”
Bergegas aku menyusuri jalanan komplek sampai di pinggir jalan besar. Aku harus dua kali naik angkutan umum. Pertama, ke lebak bulus. Terus lanjut naik mikrolet dambaan mahasiswa Depok, Deborah. Mikrolet warna ungu yang selalu penuh. Jadi aku harus ke terminal kalau mau dapat tempat duduk.
Akhirnya sampai juga di kampus. Perjalanan kurang lebih satu jam. Aku langsung berkutat dengan penelitian dengan semangat. Aku sudah memikirkan jalan keluar yang baik untuk aku dan Arif. Aku tadi memikirkannya sepanjang jalan di Deborah. Tidak sabar rasanya menunggu jam 5 sore.
Sudah jam setengah 4 sore. Saatnya aku bergegas untuk ketemuan sama Arif. Aku simpan penelitian di Komputer.
“Buru-buru banget, Ti. Mau ke mana?” kata salah seorang teman kerjaku di kampus. Namanya Nila.
“Iya. Aku ada janji sama Arif. Takut telat.”
“Yaudah hati-hati ya. Dan selamat udah lamaran kemarin. Aku pasti datang ke pernikahan kalian.”
“Iya. Makasih ya sayang. Duluan ya.”
“Oke."
Aku keluar dari kampus ketemu jalan kecil yang biasa disebut Kober. Keluar dari jalan, aku menunggu Deborah di halte. Tidak lama berselang, aku sudah berada dalam Deborah. Aku berusaha memejamkan mata untuk istirahat sejenak.
“Rif, kamu di mana? Aku sudah di Warung Steak Sandratex.” Kataku di-telepon.
“Iya sebentar lagi abang sampai, neng. Tunggu ya.”
“Oke, neng tunggu. Assalamualaikum.”
“Waalaikum salam.”
Trek. Telepon aku tutup. Di bagian atas pintu masuk bagian dalam Warung Steak sudah jam setengah 5 lebih 10 menit. Memang aku yang terlalu cepat datang. Aku menunggu sambil main game di HP.
Tidak lama, Arif datang.
“Maaf neng, abang telat.”
“Iya gak apa-apa. Pesen makanan, yuk. Neng udah laper.”
“Sama. Abang juga.”
Setelah kami pesan makanan. Sambil makan, kami mengobrol mengenai masing-masing pekerjaan kami. Teman-teman kerja. Atau hal-hal lainnya. Yang membuat kami tertawa. Layaknya pasangan pelawak bukan sepasang kekasih. Kami memang sudah membuat komitmen sejak awal, kalau hubungan kita tidak melewati batas. Biasa-biasa saja.
“Kenyang aku, rif. Kenyang perut ama kenyang ketawa. He he he.”
“Dasar. Terus neng mau ngomong apa?”
Aku menjadi serius. Ini bukan saatnya bercanda lagi.
“Gini, rif. Kemarin malem Babeh tetep dengan pendiriannya. Pengen diadain pentas dangdut di pernikahan kita. Neng sempet bingung tadi malem.”
Arif menatapku dengan penuh pengertian. Sekalipun raut wajah cemas masih menghampirinya.
“Neng punya ide. Tapi neng gak tahu ini bagus atau enggak.” Kataku dengan hati-hati.
“Emang ide apa? Abang pengen denger.”
“Hmm. Gimana kalau pesta pernikahan kita pas siang hari diadain pentas gambus. Malamnya pentas dangdut.”
Arif terdiam menatapku lama. Sambil mencerna perkataan yang barusan aku keluarkan. Aku takut Arif menganggap usulan ini usulan yang bodoh. Karena sudah pasti keluarga Arif tetap tidak setuju.
Arif tersenyum.
“Menurut abang, bagus juga usul neng. Dari keluarga abang memang ada yang ingin pentas dangdut. Yaudah nanti abang bilang sama keluarga abang. Begitu juga neng.”
Jawaban yang tidak aku kira.
“Beneran, bang? Gak apa-apa?”
“Iya beneran. Masa abang bohong.”
“Makasih ya bang. Neng lega. Tadi takut abang gak setuju.”
Arif menanggapi hanya dengan tersenyum.
“Yaudah, kita pulang. Abang anterin. Deket kan dari rumah Neng.”
“Yuk.”
Aku tidak sabar untuk bilang ini ke Babeh. Dan Insya Allah untuk usulan yang satu ini Babeh terima. Akhirnya doaku terkabul. Dan aku bahagia semuanya bisa berjalan untuk acara pernikahan kami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar