Pagi terasa menyapa semua kehidupan di bumi. Baik itu manusia maupun makhluk hidup yang lain. Sekumpulan manusia seperti semut sudah memenuhi tiap ruas jalan raya di pusat kota Lampung. Mereka semua mempunyai satu tujuan. Merayakan hari raya Iedul Fithri di kampung halaman. Mereka semua merayakan Iedul Fithri dengan penuh suka cita. Tetapi aku dan teman-teman tidak. Aku kembali mempersiapkan segala perencanaan setelah aku membaca Koran hari ini. Koran mengenai imbauan kepada warga untuk hati-hati terhadap penjahat paku.
Aku sama sekali tidak peduli dengan pemberitaan yang ada di Koran. Aku dan teman-teman tetap menjalankan kegiatan ini, yang menurut masyarakat itu suatu perbuatan yang dilarang hukum.
“Berita Koran hari ini apa, Zak?” Tanya salah satu temanku, Budi.
“Biasa, berita korupsi. Dan juga berita mengenai penjahat paku.”
“Duh. Gawat juga. Kalau kita ketangkep gimana? Gue gak mau masuk penjara.”
“Udah. Gak usah dipikirin. Selama ini kita gak pernah ketangkep. Percaya sama gue.” Kataku meyakinkannya.
“Tapi…” Temanku masih ragu-ragu.
“Udah, selesaikan aja. Mana temen-temen yang lain? Masa jam segini belum pada bangun?” Aku melihat sudah jam 8 pagi.
“Iya, zak. Gue bangunin yang lain.” Katanya sambil menuju kamar ketiga temannya.
Beginilah rutinitasku sehari-hari yang biasa dilakukan. Mempersiapkan segala sesuatunya dengan terperinci. Tidak boleh ada yang meleset. Persedian yang biasa dilakukan yaitu, penyediaan paku, sepeda motor, dan senjata tajam (pisau). Untuk senjata tajam ini hanya untuk berjaga-berjaga kalau korban yang kami temukan mencoba untuk melawan.
Aku dan teman-teman sendiri tinggal di pinggir kota Lampung. Tempat tinggal yang sangat padat. Gang untuk akses jalan sendiri, sangat kecil. Motor-pun harus pelan-pelan untuk jalan di gang ini. Rumahku sendiri tidak terlalu besar, bahkan tidak terlihat seperti rumah, lebih terlihat seperti kontrakan yang kecil dan kumuh.
Setelah teman-temanku berkumpul semua. Aku sudah membeli makanan untuk mereka.
“Nih, makan. Gue beli nasi uduk mpok imah di depan.”
“Wah asyik. Gue makan ya, zak.” Tanggap Zain.
“Ya makan, masa gue beli buat dibuang.”
“Hehehehe.” Hanya tertawa yang ia tanggapi.
Yang lain sudah selesai makan, aku memeriksa kembali persiapan yang sudah ada. Semua sudah komplit. Aku mengajak teman-teman untuk langsung pergi ke ruas jalan utama kota Lampung untuk menyebarkan paku menggunakan motor.
Ruas jalan utama kota Lampung seperti biasa ramai dengan kendaraan bermotor baik itu beroda dua ataupun roda empat. Memang suasana Iedul Fithri masih terasa walaupun sudah lewat 1 hari dari perayaannya. Setelah menentukan tempat yang pas, aku dan teman-teman langsung menyebarkan paku di sepanjang jalan. Kira-kira 10 menit sudah kami menyebarkan paku. Kami menunggu korban pertama yang akan melewati ruas jalan yang penuh dengan paku.
Dengan sabar kami menunggu. Setelah waktu lewat satu jam. Ada satu mobil yang kami rasa sudah terkena jebakan kami. Ban mobilnya kempes. Mobil itu jenisnya Kijang Kapsul, berisi satu keluarga yang (mungkin) pergi silaturahmi dengan keluarga.
Aku langsung menghampiri mobil tersebut, sementara teman-teman yang lain aku suruh menunggu. Dari kaca mobil yang terbuka aku berbicara di samping kursi supir.
“Kenapa mobilnya, pak?”
“Gak tau. Tiba-tiba ban-nya kempes. Mas tahu tempat tambal ban yang dekat sekitar sini?”
“Tahu, pak. Di perempatan depan sana.”
“Bisa tolong dorong, mas?”
“Bisa, pak. Saya panggil teman-teman saya dulu.”
Saya panggil teman-teman untuk membantu mendorong mobil. Dalam pikiran kami, sudah berjalan rencana selanjutnya yang akan dilakukan. Tetapi mendadak aku terdiam. Bukan terdiam karena ada kejadian di sekitar jalan raya ataupun kejadian yang lain. Tetapi di bagian belakang mobil itu ada seorang anak kecil perempuan, yang aku kira umurnya berkisar antara 3 sampai 5 tahun. Rambutnya bergelombang, kulitnya putih, dan pipi yang tembem untuk ukurannya. Ia tertawa gemas sekali melihat kami mendorong mobilnya. Tanpa sadar aku membalasnya dengan senyuman.
Seketika aku berfikir, selama kami melakukan kegiatan ini, sudah merugikan orang banyak. Termasuk anak kecil di depanku. Ia senang pergi jalan-jalan dengan keluarganya, tanpa tahu apa yang ia dan keluarganya alami. Aku membayangkan anak kecil itu menangis ketika kami menodong mereka dengan senjata tajam. Merasa ketakutan. Tidak tahu apa yang terjadi. Yang ia lihat hanya tampang penuh kebencian dari kami.
Aku langsung berbisik kepada teman-teman.
“Kita bawa mobil ini ke bengkel.”
Teman-teman menatapku heran. Seakan-akan ingin berkata. Kenapa, zak? Bukannya ini sudah direncanakan dan kita biasa melakukan ini.
“Pokoknya kita bawa mobil ini ke bengkel. Buang rencana tadi untuk sekarang dan seterusnya.”
Teman-teman yang lain masih menatap heran. Tetapi tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka langsung menuruti kata-kataku.
Sesampainya di bengkel. Dengan cekatan, montir mengganti ban mobil yang kempes. Hanya berselang waktu kurang lebih 30 menit, ban sudah diganti. Ban yang kempes ditambal. Setelah semuanya selesai, orang yang duduk di bangku supir, yang baru aku tahu sebagai Bapak dari anak perempuan itu, menghampiri kami.
“Makasih ya, mas. Sudah bantu saya. Ini ada sedikit uang buat mas dan teman-temannya.”
“Maaf, pak. Tapi saya gak bisa menerimanya.” Kataku.
“Siapa bilang gak bisa. Udah, ini ambil uangnya. Berkat kalian, kami sekeluarga tidak ketinggalan pesawat. Kami mau ke Jakarta, untuk silaturahmi.”
Aku terima dengan hati penuh terima kasih. Dan tanpa malu air mataku langsung keluar. Teman-teman yang melihatku semakin heran.
“Kok kakak nangis?”
Suara yang berbicara tidak disangka-sangka, anak perempuan yang tertawa melihatku tadi.
“Eh, Naila. Kok ngomong begitu sama kakak?”
“Ya habis, Abi kan kasih uang, kenapa kakak-nya nangis?”
Perempuan yang menggendongnya hanya tersenyum menanggapi perkataan anaknya.
“Maaf ya mas. Anak saya memang celoteh terus dari tadi pas berangkat.”
“Gak apa-apa, bu.” Sambil aku menyeka air mata.
“Dek Naila. Kakak gak nangis kok. Tadi cuma kelilipan. Nih sekarang kakak udah senyum lagi.” Kataku sambil melebarkan senyum.
“Nah gitu dong. Kan Naila jadi seneng.”
Betapa lucunya anak ini. Aku ingin tertawa, tapi yang aku keluarkan hanya senyuman sekaligus cubitan sayang di pipinya.
“Dasar si Naila. Oke deh, mas. Kami berangkat dulu ke bandara. Kami takut telat. Sekali lagi terima kasih sudah bantu kami.” Ia langsung pamit dengan senyum yang dikeluarkan.
“Iya, pak. Sama-sama. Hati-hati di jalan.”
“Insya Allah nanti ketemu lagi. Assalamulaikum.”
“Waalaikum salam.”
Mereka semua bersiap-siap untuk pergi ke bandara sambil melambaikan tangan kepada kami. Begitupun anak perempuan itu, melambaikan tangan sambil tertawa. Tidak lama kemudian tiba-tiba aku ditarik oleh salah satu temanku. Aku melihat ia marah. Aku dibawa ke tempat yang sepi. Teman-teman yang lain hanya bisa menyaksikan tanpa bisa berbuat apa pun.
“Loe kenapa sih, zak? Tiba-tiba jadi lembek begini?”
Aku hanya terdiam menanggapinya.
“Jawab dong, loe! Jangan mentang-mentang loe ketua di sini, bisa mutusin seenaknya!”
“Tenang, bi. Mungkin Zaki punya alasan.” Kata Budi berusaha menenangkan.
“Gimana gue bisa tenang. Dia tiba-tiba nyuruh kita gak lakuin kayak gini. Apa alasannya coba. Mau makan apa kita nanti kalo kita berhenti.”
Budi hanya terdiam. Dengan sikap tenang. Aku hanya menjawab.
“Gue gak mau merugikan orang lagi. Loe liat gak tadi di mobil ada anak kecil. Gue gak mau tuh anak kecil jadi takut ngeliat kita ngerampok.”
“Alah, lembek banget loe. Biasanya loe juga yang paling beringas kalau lagi beraksi.”
Hanya diam yang bisa aku jawab.
“Ya sudah. Sekarang begini aja. Yang mau ikut Zaki, silahkan. Yang mau ikut gue, silahkan.”
Teman-temanku yang sebelumnya berjumlah 6 orang. Sekarang tinggal aku dan Budi saja.
“Makasih, Bud. Sudah mau ikut dengan keputusan aku ini.”
“Gak apa-apa, Zak. Gue juga merasa seperti itu. Gue merasa kita sudah banyak merugikan orang banyak. Ya sudah, sekarang kita pertanggungjawabkan semuanya.”
“Iya, Bud.”
Aku dan Budi sudah membuat keputusan. Tidak akan melanjutkan pekerjaan ini untuk seterusnya. Semoga Abi dan yang lainnya bisa sadar.
Dengan langkah penuh kemantapan. Kami berjalan menuju kehidupan baru di balik jeruji besi untuk memulai semuanya dari awal. Terima Kasih, Naila. Senyum-mu membuat kami melupakan masa lalu kami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar