Pusara Ibu
Tempat Kita Memulai Kedamaian
Poso, Sulawesi Tengah – 2000
Sendiri aku di sini. Tidak tahu apa yang terjadi. Raut muka mereka semua penuh dengan kebencian. Tidak pernah aku melihat mereka seperti itu. Yang aku butuhkan hanya raut wajah yang selalu membuatku tenang. Ibu.
Aku tidak melihat Ibu. Yang aku ingat hanya suara pecah jendela salah satu rumah ketika Ibu mengajakku pulang dari pasar. Lantas Ibu langsung menarik tanganku untuk segera pulang. Suasana begitu ramai, dan entah kapan pegangan Ibu lepas dari tanganku yang membuatku tidak tahu harus ke mana. Hanya tangisan yang sering ku keluarkan.
Tiba-tiba tangan mungilku ada yang menarik untuk segera menjauh dari segala kericuhan ini. Erat, tetapi ku merasa kelembutan yang membuatku nyaman. Dia bukan Ibu. Ku hanya melihat dia seperti Ibu. Dia kakak-ku.
Tetapi kenapa kakak ada di sini? Bukankah kakak pergi bersama Bapak untuk mendaftar sekolah untuk tingkat SMA? Pikiranku bertanya-tanya mengenai hal itu tetapi urung aku tanyakan, karena sekalipun aku tanyakan wajah kakak tidak menunjukkan ketertarikan sama sekali. Wajah kakak yang aku lihat sekarang hanya guratan kecemasan.
Napasku kembang kempis mengikuti langkahnya. Setiap langkahnya termasuk dua langkahku. Aku merasa setengah jam sudah berlari, tetapi tidak tahu mau kemana. Aku berusaha berhenti, tetapi tanganku terus digenggam erat.
“Kak, kita mau ke mana? Nindi capek.”
Kakak tetap tidak mempedulikan pertanyaanku.
“Kak, ibu di mana? Apa kita mau ke tempat Ibu?”
Sedetik kemudian, aku sudah dibawa ke dalam rumah kosong yang aku sendiri tidak tahu itu rumah siapa.
****
Dublin, Irlandia – Agustus 2011
“Hayo kenapa bengong, ndi?”
Lamunan-ku pecah karena suara kak Zaitun.
“Gak mikirin apa-apa,kak”. Aku menjawab sekenanya sambil mendekap badanku dengan sweater yang aku kenakan. Sekalipun di sini musim panas, suhunya mencapai 16 derajat. Dan itu suhu paling rendah AC. Maklum, aku baru pertama kali mengunjungi kak Zaitun yang sekarang sedang melanjutkan kuliahnya di sini. Aku belum terbiasa dengan suhunya.
“Jangan bohong sama kakak, masih mikirin kejadian yang lalu?”
Aku hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban. Aku hanya berpikir tebakan kakak selalu tepat, sekalipun ada beberapa yang kurang tepat. Tetapi itu masih bisa dihitung jari.
“Ya sudah, jangan dipikirin lagi. Kan kita mau ke tempat ibu hari ini. Dan ini pake syal, biar kamu gak kedinginan”
Aku langsung memakai syal darinya dengan senyum terpancar di wajahku. Dengan segera aku dan kak Zaitun meninggalkan restoran yang kutahu namanya “Jimmy Cheung”, restoran yang menyediakan berbagai macam makanan, dan kita tinggal mengambilnya sendiri sesuai dengan menu yang kita suka.
***
Poso, Sulawesi Tengah – 2000
Kegelapan langsung menyelimutiku dan kakak. Padahal hari ini masih pagi. Sinar mentari masih semangat menyinari. Rumah ini yang aku dan kakak tempati dengan tidak sengaja, bukan hanya tidak ada orang. Tetapi seluruh perabotan di rumah ini sudah rusak. Aku dan kakak duduk memunggungi pintu. Dengan napas yang tidak teratur. Di depanku (sekalipun gelap, cahaya masih dengan semangat mengintip di sela-sela jendela) terdapat lemari kaca yang sudah rusak, bukan rusak karena sudah lama dipakai, tetapi seperti benda keras yang membuat lemari itu rusak.
Samping kanan, meja dengan tidak terawat sudah terbalik, bangku yang berderet sudah keluar busa-nya. Tempat ini bukan membuatku tenang. Tetapi makin membuatku tidak nyaman.
“Nindi, tunggu di sini. Kakak mau ke belakang sebentar.”
“Kakak mau ke mana? Nindi gak mau ditinggal lagi.” Kataku seraya memohon.
Tangannya memegang lembut seraya mengelus kepalaku dengan perhatian. Senyuman akhirnya terpancar di wajahnya yang penuh dengan debu. Walaupun begitu, senyuman itulah yang aku idamkan sedari tadi.
“Jangan takut ya, Nindi. Kakak gak akan ninggalin Nindi lagi.”
Aku hanya mengangguk sambil menyeka air mata. Kemudian kakak pergi ke belakang, yang aku sendiri tidak tahu apa yang dilakukannya. Aku hanya bisa menunggu. Di luar, sayup-sayup aku mendengar keributan, sekalipun itu jaraknya jauh. Lama-lama keributan itu sudah tidak terdengar lagi. Badanku terasa pegal terutama di bagian kaki dan mataku terasa lelah, dan tidak terasa aku tertidur.
Dalam mimpi, suasana sekeliling lengang, tetapi yang aneh semua bernuansa putih. Bukan putih yang menyilaukan tetapi putih yang mebuat nyaman. Tanpa aku sadari, ada yang menggenggam tanganku. Ibu.
“Ibu!” Dengan perasaan gembira aku memeluknya. Dan air mata keluar tanpa aku sadari.
“Ibu habis dari mana? Nindi cari Ibu terus dari tadi.” Sifat manja yang biasa aku lakukan dengan Ibu ketika aku sedang sedih, marah, atau kesepian.
“Maafin ibu ya nak. Sudah tinggalin kamu. Tapi, memang Ibu harus pergi.”
“Emang kenapa Ibu harus pergi? Kenapa gak ajak Nindi pergi sama Ibu?”
Hanya senyuman yang dibalas Ibu seraya melepaskan genggaman tangannya. Sedetik kemudian Ibu sudah menghilang.
PRANGGG!!!!
Aku bangun dengan kaget akibat suara tadi. Kuusap mata apa yang terjadi. Di depanku batu yang lumayan besar telah jatuh. Kakak langsung bergegas menghampiri dan menggandeng tanganku. Berlari keluar rumah dari belakang. Suara-suara yang tadi kudengar sudah tidak ada, kembali bersahut-sahutan. Ketakutanku tidak dapat disembunyikan lagi. Aku menangis tiada henti.
Sambil berlari melewati beberapa rumah dan kebun milik tetangga, kakak menceritakan apa yang terjadi, dengan napas yang terputus-putus.
“Tadi … kakak pergi sama bapak … ”
“Pas sampai di sekolah … tiba-tiba warga sekitar … sudah buat keributan … ”
Napas kakak tidak beraturan. Jadi, ketika kakak bicara, aku kurang bisa memperhatikannya. Sekarang di sekililing sudah berubah menjadi jalanan pasir yang lengang. Aku tahu jalan ini. Dan aku tahu ke mana kakak akan pergi.
“Terus … sebelum kakak jemput Nindi … Bapak pesan supaya bawa Nindi dan Ibu … ke Masjid dekat rumah … Bapak ada di sana … nunggu kita …”
“Kakak … berarti kita harus cari Ibu dulu.” Kataku dengan sedikit memaksa.
“Kakak pikir … kita gak usah cari Ibu dulu.”
“Tapi kak. Nindi mau cari Ibu!” Nada suaraku sedikit marah.
Tiba-tiba kakak berhenti. Kakak jongkok di hadapanku. Sambil mengelus rambutku, yang membuatku menjadi lebih tenang.
“Nindi. Kondisi sekarang tidak memungkinkan untuk mencari Ibu. Mungkin Bapak sudah ketemu Ibu dan sekarang ada di Masjid menunggu kita. Kalau memang belum, nanti kita cari Ibu bertiga dengan Bapak. Ya?”
“Kakak janji?”
“Iya, kakak janji.” Sambil mengacungkan jempolnya kepadaku.
“Yaudah, kita bergegas sekarang. Sini kakak gendong, biar Nindi gak capek.”
Aku langsung mengangguk setuju tanpa ada keraguan. Kemudian kita berlari tanpa ada yang bertanya-tanya lagi. Tujuan kita hanya satu. Masjid dekat rumah.
Setelah setengah jam berlari. Akhirnya kita sampai di Masjid. Ternyata di Masjid sudah ramai dengan warga. Aku dan kakak mencari Bapak dari kumpulan yang aku lihat seperti pepes teri yang biasa Ibu buat, saling dempet. Aku ingin tersenyum, tetapi langsung ku-urungkan.
Setelah lama kita melihat-lihat mencari Bapak. Akhirnya kutemukan Bapak di pojok kanan dalam Masjid sedang membelai seseorang yang aku dan kakak tidak tahu. Aku langsung memanggil Bapak.
“Bapak!”
Bapak langsung menoleh. Raut muka bapak langsung ceria, sekalipun masih menyimpan sedikit kesedihan. Aku langsung menghampiri Bapak. Dan dipeluknya.
“Alhamdulillah kalian gak apa-apa, nak. Bapak sangat khawatir.”
“Ibu kemana, pak?” Aku dan kakak bertanya bersamaan.
“Kemari, nak.” Dengan raut sedih Bapak langsung mengantar aku dan kakak ke tempat seseorang yang tadi dibelai Bapak. Air mata aku dan kakak langsung tumpah ketika melihat siapa yang berbaring di sana.
“Ibu!!”
Inilah kenangan yang paling pahit yang ingin aku lupakan. Dari mimpi yang aku alami, aku mengerti bahwa aku harus tetap hidup untuk mengenalkan kepada masyarakat bahwa perdamaian begitu indah.
***
Dublin, Irlandia – Agustus 2011
Air mata tanpa sadar keluar dari mataku. Aku buru-buru menghapusnya dengan tangan. Kakak paling tidak suka melihatku menangis.
“Nah kita sudah sampai di bandara.” Kakak memberitahuku.
Aku berusaha tersenyum ke kakak sambil mengagumi bandara yang aku lihat sekarang. Bandara ini begitu besar. Aku tidak bosan-bosan melihatnya, sekalipun aku sudah melihatnya waktu pertama kali datang ke sini. Kalau dari jauh bandara ini berbentuk seperti persegi panjang dengan dilapisi dinding-dinding berbentuk kaca transparan. Ketika aku dan kakak memasuki bandara, semua bernuansa putih. Dengan arsitektur atap yang sangat bagus dengan garis – garis teratur memanjang berwarna hitam dengan latar belakang putih. Eskalator yang tidak terlalu menanjak. Papan elektronik yang menunjukkan jadwal keberangkatan dan kedatangan pesawat. Semuanya membuatku lupa akan kesedihanku.
“Yuk, nindi. Kita ke Gate 9. Ini sudah jam 3 sore. Kita harus check-in untuk membawa barang bawaan kita.” Aku tersenyum mengiyakan.
Aku dan kakak berjalan melewati beberapa orang yang sibuk mengecek barang bawaan, tiket pesawat, atau bercanda dengan teman-temannya. Tetapi sebagian besar melihat kepada aku dan kakak. Mungkin karena kulit mereka berbeda dengan kulit kami. Mereka putih, aku dan kakak berkulit hitam. Menurutku, perbedaan bukan jadi masalah. Bagiku, perbedaan membuat dunia ini indah untuk dilihat dan dinikmati.
“Nah, udah sampai. Yuk siapin barang-barang kita.”
“Iya, kak.”
Aku menatap sekali ke luar bandara. Aku berkata dalam hati. Dublin, kita bertemu satu bulan lagi. Aku janji aku akan kuliah dengan baik di sini. Aku janji tidak mengotori keindahan yang ada di Dublin dengan emosi. Aku janji setelah aku selesai kuliah di sini, perdamaian akan aku raih di bumi pertiwi-ku. Indonesia. Karena aku sudah berjanji di pusara Ibu. Tuhan saksiku. Sampai jumpa lagi, Dublin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar