Aku
melihat jadwal di kalender Rumah. Hari ini ada operasi yang harus aku lakukan
di Rumah Sakit. Operasi di bagian Otak. Pasien ini menderita Kanker Otak sudah
cukup lama. Operasi ini adalah operasi terbesar yang pernah aku lakukan selama
aku menjadi Dokter Bedah. Aku melakukan operasi Tumor Otak pada seorang pasien.
Tumor Otak ini jarang sekali terjadi pada pasien. Karena menempel di kerangka
otak. Sekalipun dapat diambil, kemungkinan kambuh kembali sangat besar.
Biasanya usia yang diderita pasien yang mengalami Tumor Otak hanya 6 bulan
sampai 1 tahun.
Aku
pun menjadi dokter bukan karena keinginanku. Ini adalah keinginan orang tuaku.
Dalam hati, aku merasa, apa yang membuat aku dapat menjadi seorang Dokter.
Bukan Dokter Umum ataupun Dokter Gigi, tetapi Dokter Bedah. Suatu pekerjaan
yang harus mempunyai pengalaman dan pengetahuan yang sangat luas. Karena Dokter
Bedah tidak dapat dilakukan oleh orang-orang sembarangan.
***
Aku
menjadi Dokter karena keinginan Ibuku. Entah sudah ke sekian kalinya aku
mengikuti apa kata Ibuku. Dari mulai aku masuk Sekolah Dasar, sampai aku
bekerja menjadi Dokter. Bukan berarti semua itu pada awalnya aku menerimanya
dengan senang hati. Sering kali aku menolaknya secara kasar kepada Ibuku. Aku
teringat semasa SMA. Aku ingin masuk pada penjurusan IPS. Tetapi Ibuku
memaksaku untuk masuk penjurusan IPA.
“Bu,
aku tidak mau masuk IPA. Aku sama sekali tidak mengerti pelajaran di penjurusan
IPA.” Keluhku kepada Ibu.
“Dit,
Mama bilang sama kamu. Mau jadi apa kamu masuk IPS? Lihat Mama, sampai bisa
bekerja di Kementerian Lingkungan. Itu karena apa? Mama lebih senang di IPA.
Mama belum pernah lihat ada yang berhasil di IPS. Hanya beberapa saja.”
Mama
berbicara tanpa henti. Tidak membiarkanku untuk menjelaskan secara benar.
“Tapi,
Ma…”
“Sudah
cukup, Dit. Kamu mau masuk IPA atau kamu gak usah sekolah?”
Mama
mengancam aku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku terpaksa menuruti kata-kata
Ibu. Terpenting, Ibu bisa tersenyum melihatku. Mungkin perkataan Ibu ada
benarnya juga.
Akhirnya
selama 2 tahun penjurusan waktu SMA, aku bersusah payah memahami pelajaran pada
penjurusan IPA. Kimia, Fisika, Biologi, aku lahap semua. Aku paksakan untuk
paham semua pelajaran tersebut. Tanpa terasa aku sudah lulus SMA dengan
predikat terbaik. Aku masuk 10 besar lulusan terbaik di sekolah.
***
Ibu
begitu bahagia ketika aku masuk dalam 10 besar. Senyum Ibu begitu
menghangatkan. Tidak ada lagi kado terbaik selain senyuman Ibu. Tetapi Senyum
Ibu kembali hilang, ketika aku ingin masuk jurusan arkeologi ketika masuk
Universitas.
“Ibu
tidak habis pikir kenapa kamu mau masuk ke Jurusan itu?”
“Aku
senang arkeologi, karena aku pernah lihat acara arkeologi di televisi, Ma.
Sepertinya menyenangkan melakukan penggalian seperti itu.”
“Memang
dalam hidup kamu, kamu harus terus-menerus menggali tanpa tahu ada apa di bawah
tanah?”
Aku
hanya berdiam diri melihat Ibu bersikap seperti itu. Ibu menghela napas.
“Sekarang
kamu pilih kedokteran. Dan Mama tidak mau kamu membantah lagi perkataan Mama.
Ingat itu, Dit.” Mama beranjak dari tempat duduk ruang tamu langsung menuju
kamar. Bapak hanya menggelengkan kepalanya kepadaku. Dengan tidak lama
meninggalkan aku di ruang tamu dan menyusul Mama di kamar. Aku masih diam
dengan mengerutkan dahi. Apakah aku harus menuruti apa kata Ibu.
***
Keesokan
harinya, aku merencanakan ketemu dengan teman-teman waktu SMA. Mungkin dapat
menghilangkan rasa frustasi atas sikap Mama tadi malam. Setelah mengirim pesan
singkat lewat handphone, kami berlima janjian ketemu di Mall dekat Kebayoran Lama.
Tepatnya kami janjian di salah satu foodcourt lantai 3A.
Kami
berlima mengobrol entah itu masa-masa waktu SMA, maupun rencana kuliah. Sampai
pada salah satu pertanyaan yang membuatku semakin frustasi. Tetapi aku mencoba
tidak menunjukkannya.
“Dit,
bagaimana? Lu mau masuk jurusan apa dan kampus mana?” Tanya Andi tiba-tiba.
“Gue
gak tahu. Gue pengen arkeologi di UI. Tapi Ibu gue pengen, gue masuk kedokteran
di UI.” Aku menjawab dengan nada yang terburu-buru. Ketahuan sekali aku begitu
stress.
“Udah.
Menurut gue, lu ikutin apa kata Ibu lu.” Jawab Andi.
“Bener,
Dit. Kan siapa tahu pilihan Ibu lu itu yang terbaik.” Sambut Joni ikut
mengiyakan. Dua temanku yang lain ikut mengangguk.
Huft.
Aku hanya bingung dengan jawaban teman-temanku. Apakah benar apa yang dikatakan
mereka berempat? Mereka teman-temanku sejak SMA. Sudah tiga tahun aku bersama
mereka. Mungkin memang aku sepertinya harus mendengar apa kata Ibuku.
“Mungkin
seperti kata lu semua, gue musti ambil pilihan Ibu gue.”
“Nah
gitu dong. Udah, jangan lesu-lesu begitu. Kayak cewe aja lw.”
“Eh,
gue cewe ya, Ndi! Gue gak lesu kayak Adit!” Mia langsung protes. Ia
satu-satunya perempuan di kelompok kami sejak kelas 1 SMA. Tapi, Mia sangat
tomboi. Makanya kami sering tidak tahu kalau Mia itu perempuan. Aku hanya
tertawa melihat Mia yang langsung sewot. Teman-temanku pun ikut tertawa.
“Iya,
santai, Neng Geulis Mia.” Andi menggoda Mia. Mia langsung mencubit pinggang
Andi. Kebetulan Andi duduk bersebelahan dengan Mia. Itu merupakan sasaran empuk
bagi Mia.
“Aww.
Sakit, Mi. Ya salam. Dasar Nenek Sihir!” Andi masih saja menggoda Mia. Mia
langsung melotot ke Andi. Andi hanya tertawa tanda tidak bersalah. Aku dan dua
teman yang lain hanya tertawa melihat tingkah laku mereka berdua.
“Ya
sudah, cepat selesai makanannya. Bentar lagi filmnya mau mulai ni. Bercanda
aja.” Kataku berusaha melerai. Selanjutnya aku dan teman-teman berusaha
menikmati pertemuan ini. Keputusanku sudah bulat. Aku akan menyetujui keinginan
Ibu untuk masuk kedokteran. Keputusan ini akan aku katakan besok hari.
***
“Kamu
serius, Dit?” Ibu seakan tidak percaya ketika aku bicara mengenai keputusan
memilih kedokteran.
“Iya,
Bu. Adit serius. Insya Allah ini yang terbaik untuk Adit.”
Aku
tidak menyangka tiba-tiba Ibu memeluk-ku. Entah kenapa ada perasaan haru yang
menyelimuti. Baru kali ini Ibu memeluk-ku, sambil air mata keluar dari pelupuk
matanya.
“Maaf
ya, Dit. Ibu selalu memaksakan kehendak Ibu. Ibu hanya ingin yang terbaik untuk
kamu.” Ibu memeluk-ku erat sambil mengelus kepalaku. Bapak hanya tersenyum kecil
melihat perilaku Ibu.
“Tidak
apa-apa, Bu. Menurut Ibu ini yang terbaik buat Adit. Insya Allah akan Adit
jalankan sebaik-baiknya.” Aku juga mengelus kepala Ibu untuk menenangkan. Bapak
hanya memukul pundak-ku pelan dengan senyum di wajahnya.
***
Akhirnya
aku menjadi Dokter Bedah setelah lulus dari jurusan kedokteran UI. Dan
Alhamdulillah operasi Tumor Otak hari ini berjalan dengan lancar, walaupun
memakan waktu yang sangat lama dari biasanya, sekitar 3 sampai 4 jam. Semoga
Tumor Otak ini tidak kembali kambuh. Karena jika Tumor Otak ini kembali kambuh.
Aku sendiri tidak yakin apakah operasi selanjutnya akan berhasil atau tidak.
“Adit.”
Ada yang memanggilku. Tidak disangka itu Bapak. Bapak tiba-tiba mengagetkanku
di ruang resepsionis Rumah Sakit. Bapak sudah lama tidak mengunjungiku.
Kira-kira selama tiga bulan. Bapak ada keperluan di Aceh, kampung halaman Bapak
dan kampung halaman kami sekeluarga.
“Bapak
kapan sampai ke Jakarta? Kok gak bilang-bilang Adit? Kan Adit bisa jemput Bapak
di Bandara.” Aku menghampiri Bapak sekaligus memelukanya. Bapak hanya
tersenyum. Keriput Bapak sudah begitu banyak. Bapak tetap gagah, hanya raut
wajahnya semakin menunjukkan bahwa Bapak sudah semakin lelah dan kesehatannya
menurun.
“Kamu
lagi repot, Dit. Bapak tidak mau menyusahkan kamu.”
“Tidak
apa-apa, Pak. Jadi, ada keperluan Bapak datang ke Jakarta?”
“Kamu
lupa ini tanggal berapa, Dit?”
Aku
berusaha mengingat-ingat. Astaghfirullah, aku sampai lupa. Hari ini, 15
September, ulang tahun Ibu.
“Ohiya.
Hari ini ulang tahun Ibu. Adit sampai lupa.”
“Ayo,
kita ke tempat Ibu sekarang.”
“Iya,
Pak. Adit beres-beres dulu di kantor.” Bapak hanya mengangguk tersenyum.
Setelah
aku beres-beres di kantor. Aku dan Bapak menuju Aceh untuk bertemu Ibu. Ini
bukan pertemuan biasa. Tidak terasa Aku dan Bapak sampai di suatu tempat di
Aceh pada sore hari pada hari yang sama. Aku dan Bapak naik pesawat terbang ke
Aceh pada siang hari.
Aku
dan Bapak menatap pusara Ibu di salah satu pemakaman umum di Sigli, Aceh. Ya,
Ibu sudah meninggal tepat dua tahun yang lalu. Setahun setelah aku lulus
kedokteran. Dua tahun lalu, sudah tidak bisa terhitung berapa jumlah air mata
yang telah aku keluarkan ketika Ibu meninggalkan Aku dan Bapak. Ibu terkena
penyakit Kanker Payudara. Ibu selama ini tidak pernah berobat, hanya
mendiamkannya. Ketika penyakit itu sudah semakin parah, semua sudah terlambat.
Ibu tidak dapat tertolong. Aku dan Bapak tidak bisa berbuat apa-apa untuk
menghentikannya. Semua sudah takdir Tuhan.
“Ibu,
Selamat Ulang Tahun. Adit sama Bapak hari ini datang ke tempat Ibu untuk
memberikan ini.” Aku dan Bapak mengeluarkan seikat bunga yang besar untuk Ibu.
Aku dan Bapak masing-masing menaruhnya di kanan dan kiri pusara Ibu.
“Terima
Kasih sudah membimbing Adit selama ini, Bu. Adit tidak tahu kalau Adit selama
ini tidak mengikuti apa kata Ibu. Mungkin Adit sudah tidak jelas hendak ke
mana. Memang Adit selama ini keras sama Ibu. Begitu juga Ibu ke Adit. Tetapi
Adit tahu kalau Ibu keras sama Adit, karena Ibu tahu yang terbaik untuk Adit.”
Tidak terasa air mataku tumpah kembali. Aku tidak dapat menahan rasa rindu ini
kepada Ibu.
“Ibu.
Satu kata dari Adit, Bu. Adit kangen sama Ibu. Terima kasih untuk segalanya
yang Ibu berikan ke Adit.” Aku menangis seunggukan. Bapak mencoba memeluk-ku
untuk berusaha tabah dan sabar. Sekalipun Bapak tetap meneteskan air matanya.
--- THE END ---
Karya:
Azhar
Firdaus (FLP Batre 10)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar