Kamis, 28 Maret 2013

Ibu, Kata-Katamu Benar



 
Aku melihat jadwal di kalender Rumah. Hari ini ada operasi yang harus aku lakukan di Rumah Sakit. Operasi di bagian Otak. Pasien ini menderita Kanker Otak sudah cukup lama. Operasi ini adalah operasi terbesar yang pernah aku lakukan selama aku menjadi Dokter Bedah. Aku melakukan operasi Tumor Otak pada seorang pasien. Tumor Otak ini jarang sekali terjadi pada pasien. Karena menempel di kerangka otak. Sekalipun dapat diambil, kemungkinan kambuh kembali sangat besar. Biasanya usia yang diderita pasien yang mengalami Tumor Otak hanya 6 bulan sampai 1 tahun.

Aku pun menjadi dokter bukan karena keinginanku. Ini adalah keinginan orang tuaku. Dalam hati, aku merasa, apa yang membuat aku dapat menjadi seorang Dokter. Bukan Dokter Umum ataupun Dokter Gigi, tetapi Dokter Bedah. Suatu pekerjaan yang harus mempunyai pengalaman dan pengetahuan yang sangat luas. Karena Dokter Bedah tidak dapat dilakukan oleh orang-orang sembarangan.
***
Aku menjadi Dokter karena keinginan Ibuku. Entah sudah ke sekian kalinya aku mengikuti apa kata Ibuku. Dari mulai aku masuk Sekolah Dasar, sampai aku bekerja menjadi Dokter. Bukan berarti semua itu pada awalnya aku menerimanya dengan senang hati. Sering kali aku menolaknya secara kasar kepada Ibuku. Aku teringat semasa SMA. Aku ingin masuk pada penjurusan IPS. Tetapi Ibuku memaksaku untuk masuk penjurusan IPA.
“Bu, aku tidak mau masuk IPA. Aku sama sekali tidak mengerti pelajaran di penjurusan IPA.” Keluhku kepada Ibu.
“Dit, Mama bilang sama kamu. Mau jadi apa kamu masuk IPS? Lihat Mama, sampai bisa bekerja di Kementerian Lingkungan. Itu karena apa? Mama lebih senang di IPA. Mama belum pernah lihat ada yang berhasil di IPS. Hanya beberapa saja.”
Mama berbicara tanpa henti. Tidak membiarkanku untuk menjelaskan secara benar.
“Tapi, Ma…”
“Sudah cukup, Dit. Kamu mau masuk IPA atau kamu gak usah sekolah?”
Mama mengancam aku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku terpaksa menuruti kata-kata Ibu. Terpenting, Ibu bisa tersenyum melihatku. Mungkin perkataan Ibu ada benarnya juga.
Akhirnya selama 2 tahun penjurusan waktu SMA, aku bersusah payah memahami pelajaran pada penjurusan IPA. Kimia, Fisika, Biologi, aku lahap semua. Aku paksakan untuk paham semua pelajaran tersebut. Tanpa terasa aku sudah lulus SMA dengan predikat terbaik. Aku masuk 10 besar lulusan terbaik di sekolah.

***
Ibu begitu bahagia ketika aku masuk dalam 10 besar. Senyum Ibu begitu menghangatkan. Tidak ada lagi kado terbaik selain senyuman Ibu. Tetapi Senyum Ibu kembali hilang, ketika aku ingin masuk jurusan arkeologi ketika masuk Universitas.
“Ibu tidak habis pikir kenapa kamu mau masuk ke Jurusan itu?”
“Aku senang arkeologi, karena aku pernah lihat acara arkeologi di televisi, Ma. Sepertinya menyenangkan melakukan penggalian seperti itu.”
“Memang dalam hidup kamu, kamu harus terus-menerus menggali tanpa tahu ada apa di bawah tanah?”
Aku hanya berdiam diri melihat Ibu bersikap seperti itu. Ibu menghela napas.
“Sekarang kamu pilih kedokteran. Dan Mama tidak mau kamu membantah lagi perkataan Mama. Ingat itu, Dit.” Mama beranjak dari tempat duduk ruang tamu langsung menuju kamar. Bapak hanya menggelengkan kepalanya kepadaku. Dengan tidak lama meninggalkan aku di ruang tamu dan menyusul Mama di kamar. Aku masih diam dengan mengerutkan dahi. Apakah aku harus menuruti apa kata Ibu.
***
Keesokan harinya, aku merencanakan ketemu dengan teman-teman waktu SMA. Mungkin dapat menghilangkan rasa frustasi atas sikap Mama tadi malam. Setelah mengirim pesan singkat lewat handphone, kami berlima janjian ketemu di Mall dekat Kebayoran Lama. Tepatnya kami janjian di salah satu foodcourt lantai 3A.

Kami berlima mengobrol entah itu masa-masa waktu SMA, maupun rencana kuliah. Sampai pada salah satu pertanyaan yang membuatku semakin frustasi. Tetapi aku mencoba tidak menunjukkannya.

“Dit, bagaimana? Lu mau masuk jurusan apa dan kampus mana?” Tanya Andi tiba-tiba.
“Gue gak tahu. Gue pengen arkeologi di UI. Tapi Ibu gue pengen, gue masuk kedokteran di UI.” Aku menjawab dengan nada yang terburu-buru. Ketahuan sekali aku begitu stress.
“Udah. Menurut gue, lu ikutin apa kata Ibu lu.” Jawab Andi.
“Bener, Dit. Kan siapa tahu pilihan Ibu lu itu yang terbaik.” Sambut Joni ikut mengiyakan. Dua temanku yang lain ikut mengangguk.
Huft. Aku hanya bingung dengan jawaban teman-temanku. Apakah benar apa yang dikatakan mereka berempat? Mereka teman-temanku sejak SMA. Sudah tiga tahun aku bersama mereka. Mungkin memang aku sepertinya harus mendengar apa kata Ibuku.
“Mungkin seperti kata lu semua, gue musti ambil pilihan Ibu gue.”
“Nah gitu dong. Udah, jangan lesu-lesu begitu. Kayak cewe aja lw.”
“Eh, gue cewe ya, Ndi! Gue gak lesu kayak Adit!” Mia langsung protes. Ia satu-satunya perempuan di kelompok kami sejak kelas 1 SMA. Tapi, Mia sangat tomboi. Makanya kami sering tidak tahu kalau Mia itu perempuan. Aku hanya tertawa melihat Mia yang langsung sewot. Teman-temanku pun ikut tertawa.
“Iya, santai, Neng Geulis Mia.” Andi menggoda Mia. Mia langsung mencubit pinggang Andi. Kebetulan Andi duduk bersebelahan dengan Mia. Itu merupakan sasaran empuk bagi Mia.
“Aww. Sakit, Mi. Ya salam. Dasar Nenek Sihir!” Andi masih saja menggoda Mia. Mia langsung melotot ke Andi. Andi hanya tertawa tanda tidak bersalah. Aku dan dua teman yang lain hanya tertawa melihat tingkah laku mereka berdua.
“Ya sudah, cepat selesai makanannya. Bentar lagi filmnya mau mulai ni. Bercanda aja.” Kataku berusaha melerai. Selanjutnya aku dan teman-teman berusaha menikmati pertemuan ini. Keputusanku sudah bulat. Aku akan menyetujui keinginan Ibu untuk masuk kedokteran. Keputusan ini akan aku katakan besok hari.
***
“Kamu serius, Dit?” Ibu seakan tidak percaya ketika aku bicara mengenai keputusan memilih kedokteran.
“Iya, Bu. Adit serius. Insya Allah ini yang terbaik untuk Adit.”
Aku tidak menyangka tiba-tiba Ibu memeluk-ku. Entah kenapa ada perasaan haru yang menyelimuti. Baru kali ini Ibu memeluk-ku, sambil air mata keluar dari pelupuk matanya.
“Maaf ya, Dit. Ibu selalu memaksakan kehendak Ibu. Ibu hanya ingin yang terbaik untuk kamu.” Ibu memeluk-ku erat sambil mengelus kepalaku. Bapak hanya tersenyum kecil melihat perilaku Ibu.
“Tidak apa-apa, Bu. Menurut Ibu ini yang terbaik buat Adit. Insya Allah akan Adit jalankan sebaik-baiknya.” Aku juga mengelus kepala Ibu untuk menenangkan. Bapak hanya memukul pundak-ku pelan dengan senyum di wajahnya.
***
Akhirnya aku menjadi Dokter Bedah setelah lulus dari jurusan kedokteran UI. Dan Alhamdulillah operasi Tumor Otak hari ini berjalan dengan lancar, walaupun memakan waktu yang sangat lama dari biasanya, sekitar 3 sampai 4 jam. Semoga Tumor Otak ini tidak kembali kambuh. Karena jika Tumor Otak ini kembali kambuh. Aku sendiri tidak yakin apakah operasi selanjutnya akan berhasil atau tidak.

“Adit.” Ada yang memanggilku. Tidak disangka itu Bapak. Bapak tiba-tiba mengagetkanku di ruang resepsionis Rumah Sakit. Bapak sudah lama tidak mengunjungiku. Kira-kira selama tiga bulan. Bapak ada keperluan di Aceh, kampung halaman Bapak dan kampung halaman kami sekeluarga.
“Bapak kapan sampai ke Jakarta? Kok gak bilang-bilang Adit? Kan Adit bisa jemput Bapak di Bandara.” Aku menghampiri Bapak sekaligus memelukanya. Bapak hanya tersenyum. Keriput Bapak sudah begitu banyak. Bapak tetap gagah, hanya raut wajahnya semakin menunjukkan bahwa Bapak sudah semakin lelah dan kesehatannya menurun.
“Kamu lagi repot, Dit. Bapak tidak mau menyusahkan kamu.”
“Tidak apa-apa, Pak. Jadi, ada keperluan Bapak datang ke Jakarta?”
“Kamu lupa ini tanggal berapa, Dit?”
Aku berusaha mengingat-ingat. Astaghfirullah, aku sampai lupa. Hari ini, 15 September, ulang tahun Ibu.
“Ohiya. Hari ini ulang tahun Ibu. Adit sampai lupa.”
“Ayo, kita ke tempat Ibu sekarang.”
“Iya, Pak. Adit beres-beres dulu di kantor.” Bapak hanya mengangguk tersenyum.

Setelah aku beres-beres di kantor. Aku dan Bapak menuju Aceh untuk bertemu Ibu. Ini bukan pertemuan biasa. Tidak terasa Aku dan Bapak sampai di suatu tempat di Aceh pada sore hari pada hari yang sama. Aku dan Bapak naik pesawat terbang ke Aceh pada siang hari.

Aku dan Bapak menatap pusara Ibu di salah satu pemakaman umum di Sigli, Aceh. Ya, Ibu sudah meninggal tepat dua tahun yang lalu. Setahun setelah aku lulus kedokteran. Dua tahun lalu, sudah tidak bisa terhitung berapa jumlah air mata yang telah aku keluarkan ketika Ibu meninggalkan Aku dan Bapak. Ibu terkena penyakit Kanker Payudara. Ibu selama ini tidak pernah berobat, hanya mendiamkannya. Ketika penyakit itu sudah semakin parah, semua sudah terlambat. Ibu tidak dapat tertolong. Aku dan Bapak tidak bisa berbuat apa-apa untuk menghentikannya. Semua sudah takdir Tuhan.
“Ibu, Selamat Ulang Tahun. Adit sama Bapak hari ini datang ke tempat Ibu untuk memberikan ini.” Aku dan Bapak mengeluarkan seikat bunga yang besar untuk Ibu. Aku dan Bapak masing-masing menaruhnya di kanan dan kiri pusara Ibu.
“Terima Kasih sudah membimbing Adit selama ini, Bu. Adit tidak tahu kalau Adit selama ini tidak mengikuti apa kata Ibu. Mungkin Adit sudah tidak jelas hendak ke mana. Memang Adit selama ini keras sama Ibu. Begitu juga Ibu ke Adit. Tetapi Adit tahu kalau Ibu keras sama Adit, karena Ibu tahu yang terbaik untuk Adit.” Tidak terasa air mataku tumpah kembali. Aku tidak dapat menahan rasa rindu ini kepada Ibu.
“Ibu. Satu kata dari Adit, Bu. Adit kangen sama Ibu. Terima kasih untuk segalanya yang Ibu berikan ke Adit.” Aku menangis seunggukan. Bapak mencoba memeluk-ku untuk berusaha tabah dan sabar. Sekalipun Bapak tetap meneteskan air matanya.

--- THE END ---

Karya:
Azhar Firdaus (FLP Batre 10)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar